Tampilkan postingan dengan label Dibawah sabda cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dibawah sabda cinta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Agustus 2016

Waktu libur akan segera tiba, kawan-kawan kerja sudah banyak berencana untuk mengisi masa liburannya. Sementara aku sendiri tidak terfikir sedikitpun untuk mengisi liburan, hal ini sudah biasa bagiku selama dua tahun terakhir dan selama ini hanya aku isi dengan bersama keluarga dirumah karena bagiku bersama mereka aku merasa bahwa mereka lebih mengerti keadaanku, tak banyak memberikan pertanyaan atau pembicaraan tentang hal-hal yang membuat ku mengingat kembali pada masa lalu mungkin semua itu karena naluri mereka sebagai orang tua.

"Athila besok siap-siap ikut bunda pengajian ya sayang, sudah lama kita tidak bersama-sama mengunjungi pengajian" Ajak bunda kepada ku dengan nada lembutnya yang selalu aku rindukan

"Iya bun, besok Athila akan ikut" jawabku kepada bunda karena aku berfikir tidak ada kegiatan yang aku lakukan seharian dirumah

Bunda adalah sosok yang begitu luar biasa bagiku, beliau memiliki karakter yang lembut, selama aku hidup belum pernah aku mendengar bunda berbicara dengan nada keras, sosok bunda yang selalu mengenakan hijab sangat berpengaruh terhadap sikapnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini pun diakui oleh warga di komplek yang mengenal bunda sosok yang ramah dan begitu sosialis, tak salah jika lingkungan sekitar menyukai bunda dan begitu peduli dengan bunda.

Sedangkan Ayah ku yang tercinta dengan karakternya yang tegas namun sangat mengedepankan kebijaksanaan sehingga aku merasa bahwa mereka adalah orang tua yang begitu ideal untuk memberikan contoh kepada anak-anaknya. Ayah selalu mengajarkan aku untuk berfikir secara logis dan positif meskipun dalam pelaksanaannya akan menemui banyak kesulitan. Ayah memiliki cara yang baik dalam mendidik anak, ketika aku berbuat kesalahan maka ayah tidak begitu saja memarahiku, melainkan itu dibicarakan ketika selesai makan.

Bagiku itu adalah cara yang sangat baik yang mungkin kelak dapat aku tiru ketika nanti aku memiliki anak. Sewaktu aku masih kecil, ayah sesekali mengajak aku dan bunda untuk pergi berkunjung di panti, aku tahu ini adalah cara mereka untuk mendidik aku agar aku tumbuh dengan jiwa yang sosialis yang mau untuk membantu yang lain yang sedang membutuhkan. Ketika dewasa seperti ini aku banyak mengerti cara mereka mendidik ku menjadi jiwa yang baik dan santun.

Keesokan harinya kami mengunjungi pengajian akbar bersama ayah dan bunda yang dilaksanakan di lingkungan dekat rumah, begitu banyak jamaah yang berduyun-duyun datang kesana. Pada hari itu aku merasakan suasana yang berbeda dibandingkan hari yang biasanya, hal ini juga mengingatkan aku pada masa kecil yang sering diajak oleh bunda untuk mengunjungi pengajian semacam ini. Dewasa ini aku lebih banyak habiskan waktu bersama teman-teman diruang kerja, jarang sekali aku dapati hal semacam ini karena yang ada hanyalah kerja dan kerja.

Kerukunan tetangga yang terjalin begitu baik hingga saat ini, senyuman dan sapaan mereka masih terasa hangat bagiku hingga saat ini, sungguh sangat rukun sekali dan begitu ikhlasnya hati mereka yang seakan-akan tiada masalah berarti dirumah masing-masing. Mungkin saja semua ini terjadi karena keimanan mereka sehingga membawa mereka pada tingkatan taqwa yang mengagumkan kepada yang Maha Esa.

"eh nak Athila ikut mengunjungi pengajian juga ya...?" sapa bu Ida tetangga ku dengan begitu ramah

Namun dengan pertanyaan tersebut aku malah hanya menanggapinya dengan senyuman saja, tak ingin rasanya mengucapkan sepatah kata pun. Lalu aku tengok wajah bunda dan ku lihat tatapan mata beliau yang seolah memberikan isyarat bahwa apa yang aku lakukan tadi kurang berkenan karena mungkin itu dapat membuat orang lain tersinggung dengan sikapku yang begitu dingin hingga saat ini, padahal bunda selalu mengajarkan ku untuk menjaga perasaan orang lain sekecil apapun itu tidak boleh menyakiti orang lain.

"Iya bu Ida ini Athila saya ajak daripada cuma diam saja dirumah" jawab bunda kepada bu Ida karena takut kalau buda Ida nantinya merasa tidak nyaman dengan jawabanku

Dan kami meneruskan perjalanan yang tinggal beberapa puluh meter saja dari tempat dilaksanakannya pengajian tersebut. Menjelang beberapa meter saja tiba-tiba hatiku bergetar seakan-akan terjadi sesuatu, hal yang sama ku rasakan saat pertama kali aku bertemu dengan mantan kekasihku dulu. Aku sendiri merasa bingung dengan perasaan ini, apakah mungkin akan terjadi sesuatu nantinya atau hanya perasaan biasa belaka....?

Dan ternyata semua itu sangat beralasan karena lantunan suara seorang laki-laki dengan style yang begitu simple yakni koko berwarna putih lengan panjang. Lantunan ayat-ayat Al-Quran dengan suara yang begitu merdu sehingga itu membuat aku terus bergetar dan selalu memperhatikan pemuda itu. Ini terjadi begitu saja tanpa dibuat-buat, seakan-akan ada sesuatu yang berbeda dengan pemuda itu dan aku sendiri merasa bahwa nantinya dia dapat memberikan sesuatu yang dapat merubah hidupku yang begitu kacau hingga saat ini.

"Ya Allah... apakah karena itu hatiku bergetar yang tidak biasa, hal ini sudah lama sekali tidak terjadi pada ku, ataukah hanya aku saja yang terlalu lebay menanggapi ini...?" gumamku dalam hati sembari melihat wajah pemuda yang nampak berseri itu.

Lanjut Part 4

Minggu, 07 Agustus 2016

Dalam hidup, cinta selalu menjadi hal yang penting dan seakan misterius, banyak yang memberikan pengertian atas cinta. Sebagian berkata bahwa cinta adalah sebuah kebahagiaan dan ada pula yang mengartikan bahwa cinta adalah sebuah kesengsaraan. Sama halnya dengan aku yang beranggapan bahwa cinta hanya sebab dari sebuah kesengsaraan, entah semua ini karena kebodohanku atau memang beginilah cinta itu. Hati ku masih saja terus-menerus bertanya-tanya manakah yang benar dari arti cinta itu. Aku masih terus mencari dan membiarkan rasa itu mengalir bersama ragam hal yang terjadi meski kada pedih dan begitu menyesakkan dada.

Dan rasa itu masih tetap aku biarkan terjadi layaknya air yang terus mencari titik terendah untuk dapat ia isi. Aku biarkan itu terjadi sembari aku mencari dan akhirnya mendapati setitik rasa dan cahaya dari arti cinta sebenarnya yang bagiku masih menjadi misteri. Tak peduli akan seberapa lama aku akan menemukan jawabannya itu yang tentunya dengan itu aku berharap dapat terbebas dari prasangka buruk tentang cinta dan aku dapat segera lepas dari belenggu kesengsaraan oleh perasaanku sendiri.

Saat senja kala itu aku duduk karena telah berada titik jenuh, terdiam, memandangi mega yang memerah dan menghela nafas panjang, mencoba membuang fikiran buruk yang menggangguku selama ini. Namun ternyata sungguh tak mudah bagiku untuk menghempaskan semua itu karena mungkin inilah adanya, inilah rasanya yang harus aku terima dan aku jalani. Bisa jadi ini adalah sebuah ujian, atau mungkin teguran atau bahkan mungkin ini adalah sebuah balasan atas perbuatan yang tak dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan mungkin sangat murka kepada ku karena tetesan air mata ini tiada berhenti, airmata yang seharusnya aku teteskan hanya karena-Nya, sesal yang semestinya ku berikan hanya kepada-Nya namun ternyata aku seperti ini karena urusanku sendiri, karena kesalahanku sendiri. Tapi memang tak dapat aku pungkiri bahwa rasa sakit itu masih saja tertanam yang menjadikan airmata ini selalu saja terjatuh, seperti tak sanggup, hatiku gamang dan seakan telah mati.

Mungkin saja aku bagaikan sepohon sirih yang hidup dalam panasnya padang pasir yang begitu lemah jiwanya dan menguning lalu layu dan pada akhirnya punah oleh terpaan angin yang semestinya dapat menyegarkanku. Satu per satu daun itu akhirnya berguguran seperti harapanku yang satu demi satu mulai berguguran, tentu saja ini adalah masa sulit ketika aku harus hidup tanpa adanya harapan, dan entah apa namanya ini semua semakin membuat aku merasa bingung. Sesekali jiwa ini meronta, berusaha lari dan lepas namun hingga saat ini itu menjadi pekerjaan tersulit bagiku.

Tapi mungkin ini masalah waktu, ini masalah situasi yang belum memperkenankan. Sepertinya Tuhan memang tengah memberikan aku sebuah pelajaran berharga, pelajaran agar aku tidak akan lagi mengulanginya, pelajaran agar aku bangkit kembali, pelajaran agar aku menjadi jiwa yang kuat yang mampu menghadapi masalah seberat apapun tanpa harus mengeluh dan berputus asa.

Pagi itu dikala cuaca terlihat cerah dan masih begitu sejuk dengan sapaan angin yang begitu lembut membelai, aku duduk disebuah kursi taman sembari melihat orang-orang yang berlalu lalang menikmati lari pagi. Seperti biasanya beberapa teman-temanku yang begitu dekat dengan aku pun tak luput ikut lari pagi untuk menjaga kesehatan dan kebugaran, sebut saja dia adalah Nadira dan kawan-kawan,

"Hai La........." sapa Nadira kepada ku sembari Ia duduk disampingku dan mengusapkan handuk ke badannya yang penuh keringat

"Hai juga Nad" jawabku dengan senyuman dingin

"Sendirian saja La..?" tanya lagi Nadira kepadaku

"Iya Nad, Bunda sedang tidak sempat diajak lari pagi" Jawabku sembari membuka tutup botol air mineral

"Mau minum...?" tanya ku menawarkan air mineral kepada Nadira

"Udah La, udah minum tadi, sudah habis satu botol malah" jawab Nadira sambil nyengir

"La..... sudah hampir dua tahun ini aku lihat kamu selalu seperti ini, kamu belum juga bisa lepas dari masalah yang ada dan kamu masih saja menyimpan masalah itu" cetus Nadira kepada ku

Sembari menunduk aku menjawab "Tidak apa-apa kok Nad semua baik-baik saja

Aku yang masih memegang botol mineral dan mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan dari Nadira pun akhirnya aku mulai beranjak meninggalkan Nadira begitu saja tanpa sepatah kata pun. Nadira adalah teman dari semasa kecil hingga dewasa, Ia adalah satu-satunya teman yang begitu peduli dengan aku, maka sangatlah wajar jika hingga saat ini dia masih saja peduli. Kami sudah layaknya saudara kandung yang saling peduli satu sama lain, akan tetapi memang selama dua tahun terakhir aku lebih banyak tertutup kepada siapapun bahkan termasuk kepada Nadira.

Nadira aku kenal sebagai wanita yang mandiri dan penuh semangat, tidak mau bergantung kepada orang lain dan Ia juga sangat peduli kepada anak-anak. Sifat keibuan dia itulah yang mungkin menjadikan anak-anakpun cepat sekali untuk dekat kepadanya. Maka sangat tak mengherankan jika dia begitu banyak teman, bahkan dia pun membentuk sebuah komunitas peduli anak yatim didaerah tempat kami tinggal.

Dalam urusan kerja, Nadira pun banyak disukai oleh rekan-rekan bahkan atasannya, ini merupakan dampak positif yang dapat ia rasakan karena dia selama ini lebih memilih bersikap netral ketika berhadapan langsung dengan rekan-rekan yang sedang berselisih faham. Dia semacam wanita yang memiliki jiwa sosialis dan penuh dengan kebijaksanaan, maka dulu akupun sebenarnya sering kali belajar dari dia yang menurutku itu penting untuk menjadikan aku benar-benar menjadi wanita dewasa yang memiliki komitmen dan dapat dipercaya.

Beberapa langkah aku pergi meninggalkan Nadira dari tempat duduk di taman itu aku membalikkan pandangan ku kepada nya dan aku lihat bahwa dia pun masih memandangiku seolah masih saja ingin tahu apa yang sebenarnya hal tersulit bagiku untuk lepas dari masalah masalalu, yang semestinya hanya tinggalah sebuah cerita yang tak patut untuk terus ditanamkan didalam hati rasa kecewa itu, karena bagaimanapun hal itu sangatlah merugikan bagiku sendiri. Ingin sebenarnya aku bercerita seperti dulu kepada dia tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku alami, tapi entahlah rasanya ini belum waktu yang tepat untuk ceritakan semua kepadanya.

Keesokan harinya seperti biasa kami berkumpul dengan teman-teman kerja saat jam istirahat sembari makan siang dan menikmati minuman sesuai dengan selera masing-masing. Dan tak ketinggalan pula kebiasaan wanita ketika berkumpul pasti akan ngerumpi, membicarakan hal-hal yang menurutku aneh sekali karena mereka bercerita sesuai dengan masalah masing-masing dan kebanyakan dari mereka membicarakan soal lelaki karena mereka memang masing berstatus lajang.

Namun ternyata asyiknya obrolan itu tak juga dapat membuat aku dapat menikmatinya, hati ini masih saja terasa kosong, dan didepan ku ada Nadira yang sejenak menatap ku dengan penuh rasa iba dan rasa ingin tahu tentang masalah yang membuat aku bisa seperti ini hingga saat ini. 

"La... Kok diam saja? Mana ceritamu tentang lelaki yang bisa kamu ajak berkomitmen kedepan?" tanya Sindi kepada ku yang seolah-olah memancingku untuk membuka suara dan bercerita

Namun ternyata itu hal sia-sia saja karena aku masih saja bungkam dan lagi-lagi hanya mampu menjawab dengan senyuman dan dada yang begitu sesak karena itu mengingatkan dengan masalahku yang lalu yang masih terbawa hingga saat ini. Suasana obrolan menjadi sepi dan menatap semua kepadaku, sementara aku mulai merasa mataku berbinar, sehingga aku membuat aku segera menunduk dan mengalihkan perhatian semuanya dan beranjak pergi meninggalkan mereka.

"Aku masuk duluan ya....." ucapku pamitan kepada teman-temanku

"Iya La nanti kami segera menyusul" jawab sindi kepada ku

Hari-hari seperti ini menjadi hal yang biasa aku hadapi selama dua tahun terakhir. Aku bahkan tak peduli dengan apa yang akan difikirkan oleh rekan-rekan kerja ku. Karena bagiku semua itu hanyalah rasa sakit yang akan bertambah ketika aku harus membahasnya. Itulah sebab aku hingga saat ini memilih bungkam dan tak banyak bicara kepada siapapun.

Cerita berikutnya....(On Process)



Diberdayakan oleh Blogger.